Trans Advocacy Network, Jakarta – Korea Selatan akan meluncurkan program percontohan yang memungkinkan siswa asing membiarkan orang tuanya bekerja di lahan pertanian atau menjadi nelayan di daerah dekat sekolah mereka, kata Kementerian Kehakiman, Minggu (25 Februari 2024. Hal itu diambil untuk menangani masalah tersebut. kekurangan personel di negara tersebut.
Negeri Ginseng telah meluncurkan program kerja musiman untuk secara legal mempekerjakan pekerja asing jangka pendek guna mengatasi kekurangan tenaga kerja kronis selama puncak musim pertanian dan penangkapan ikan. Kini, mereka memperluas jangkauannya kepada orang tua mahasiswa asing di Korea.
Proyek ini bertujuan untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja yang menurun dengan cepat di Korea. Banyak generasi muda di Korea yang tidak ingin berkeluarga, sehingga proses regenerasi tidak berjalan seiring bertambahnya usia petani dan nelayan.
Beberapa kriteria harus dipenuhi untuk mengikuti program ini. Menurut kementerian, orang tua mahasiswa asing yang terdaftar di universitas di luar wilayah Seoul selama lebih dari satu tahun dapat bekerja sebagai pekerja musiman hingga delapan bulan. Pekerjaan ini akan fokus pada wilayah pertanian dan kelautan tempat anak-anak mereka bersekolah.
Orang tua yang berminat harus berusia di bawah 55 tahun dan tidak memiliki catatan kriminal atau masalah kesehatan. Anak-anak Anda juga tidak boleh memiliki catatan pelanggaran hukum Korea dan harus sudah kuliah lebih dari dua semester sebelum mengajukan izin. Kesempatan ini tidak berlaku bagi mahasiswa asing yang belajar bahasa di universitas.
Sejauh ini, program kerja musiman tersedia bagi keluarga migran yang sudah menikah, penduduk asing pemerintah daerah yang telah menandatangani nota kesepahaman dengan rekan mereka di Korea Selatan, atau pemegang visa yang memperbolehkan kerja musiman, seperti H-1, D.-2 . atau H-4.
Keputusan pemerintah untuk memperluas program dengan menyertakan orang tua pelajar asing didasarkan pada hasil positif dari observasi peserta sebelumnya, seperti kerabat migran yang sudah menikah. Mereka menunjukkan kemampuan penyelesaian awal dan kecil kemungkinannya untuk meninggalkan Korea tanpa izin yang sesuai.
“Kementerian Kehakiman akan menyelidiki secara menyeluruh setiap kesulitan yang dihadapi selama pengoperasian program percontohan dan meningkatkan sistem untuk membantu seluruh 131 pemerintah daerah yang berpartisipasi di Korea menjalankan sistem tersebut dengan lancar,” kata seorang pejabat kementerian.
Di sisi lain, Korea Selatan merupakan salah satu negara dengan angka kelahiran terendah di dunia dengan angka kelahiran per perempuan sebesar 0,72 pada akhir tahun 2023, mengutip Times. Artinya populasinya menua dan menurun dengan cepat.
Pemerintah telah menggelontorkan miliaran dolar dalam upaya mendorong lebih banyak kelahiran, salah satunya dengan memberikan subsidi kepada pemerintah Seoul untuk biaya pembekuan sel telur. Jeong, seorang warga Korea Selatan berusia 40-an, memutuskan untuk melakukan hal itu.
Pada Senin, 19 Februari 2024, seperti dikutip CNA, Jeong mengatakan, “Saya merasakan tekanan untuk memiliki anak karena usia saya, yang membuat saya berpikir untuk segera menikah.”
“Saat aku menginjak usia 30-an, aku menyarankan kepada orang yang kukencani agar kami segera menikah. Tapi itu tidak berhasil,” tambah Jeong.
Meskipun perempuan lajang dapat membekukan sel telurnya, program ini sebenarnya hanya membantu perempuan yang sudah menikah, karena klinik yang menawarkan inseminasi intrauterin (IUI) dan fertilisasi in vitro (IVF) sering kali memerlukan surat nikah, sehingga prosedur ini hampir mustahil dilakukan oleh perempuan. Pasangan lajang atau sesama jenis harus menjalani prosedur IVF.
Pembekuan sel telur secara teori memungkinkan perempuan mempertahankan kesuburannya. Namun, tindakan ini dianggap berhasil jika wanita menjalani prosedur ini sebelum kualitas sel telur mulai menurun secara signifikan, biasanya pada usia 38 tahun atau lebih.
Setelah membekukan sel telurnya, Jeong mengatakan dia “tidak khawatir” menjadi lajang dan kehilangan bayinya, dan bersedia menunggu sampai dia menemukan orang yang tepat. “Sekarang saya punya asuransi telur beku, saya bisa meluangkan waktu,” katanya.
Cara ini, menurut pemerintah Seoul, merupakan solusi yang lebih praktis untuk “berinvestasi pada kemungkinan memiliki anak di masa depan.” “Seiring dengan meningkatnya usia menikah dan usia subur serta meningkatnya partisipasi perempuan dalam masyarakat, perempuan yang belum menikah lebih besar kemungkinannya untuk hamil dan memiliki anak di masa depan,” kata pemerintah.
Namun, hal ini tidak berarti minat anak muda Korea untuk menikah akan segera meningkat. Dikutip Al Jazeera, banyak faktor yang membuat mereka enggan menikah, antara lain perlambatan ekonomi, kenaikan harga properti, kesenjangan sosial dan gender, rendahnya tingkat mobilitas sosial, dan tingginya biaya membesarkan anak di lingkungan yang sangat kompetitif. masyarakat
Perempuan juga mengeluhkan budaya patriarki yang terus-menerus mendorong mereka untuk merawat anak-anak sambil mengalami diskriminasi di tempat kerja. Oleh karena itu, sebagian wanita mengatakan bahwa mereka mengutamakan kemandirian pribadi dan mengesampingkan pencarian pasangan.